Senin, 08 Maret 2010

SAYYID QUTB DAN TAFSIRNYA
A. PENDAHULUAN
Memang benar perkataan orang yang menganggap al-Qur’an adalah lautan ilmu tanpa henti. Ia juga merupakan sumber hidayah bagi umat manusia. Berangkat dari asumsi inilah banyak sekali ulama-ulama islam yang mencoba memahami maksud serta pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dengan upaya-upaya mereka menafsirkan firman Tuhan tersebut tak terkecuali Sayyid Qutb.
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Beliau adalah penulis tafsir fi zhilalil Qur’an, bisa dikatakan kitab tafsir yang dikarang olehnya ini termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran al-Qur’an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam melakukan penafsiran dan disatu sisi beliau mengesimpangkan pembahasan yang dirasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an. Metode tafsir beliau ini adalah memandang al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang komprehensif, dimana masing-masing bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur’an dalam memahaminya. Beliau berpendapat bahwa salah satu tujuannya menyusun tafsir ini adalah untuk merealisasikan pesan-pesan al-Qur’an dalam kehidupan nyata.
Kondisi mesir saat itu sedang porak-poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. pada saat itulah Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenannya, tak heran jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya cenderung mengangkat tema sosial-kemasyarakatan. Dan atas kondisi inilah yang mendorong Sayyid Qutb untuk menyusun kitab tafsir yang diberi nama fi dzilzlil Qur’an (dibawah naungan al-Qur’an). Dan semoga Allah membalas semua usaha yang telah dilakukannya demi kejayaan islam.

B. PEMBAHASAN
1. Biografi singkat Sayyi Qutb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 oktober 1906 M. Di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola majalah al-Liwa’, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon pada usianya yang relatif muda (dibawah umur 10 tahun) , dia telah berhasil menghafal al-Qur’an diluar kepala.
Sayyid Qutb seseorang yang berkulit sawo matang, berambut keriting, tidak gemuk dan kurus, tidak tingi dan pendek, berperasaan lembut, supel (mudah bergaul), rendah hati, pemberani, brilian, tajam lidah dalam kritiknya, cinta akan ilmu penetahuan, dan suka menolong orang lain.
Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah kuttab (TPA). Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1921 ia berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di madrasah tsanawiyah. Pada masa mudanya ia pindah ke Halwan untuk tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Utsman yang merupakan seorang jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di Universitas Darul Ulum hingga memperoleh gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan. Dalam kesehariannya ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas tersebut . Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik pada Kementrian Pendidikan dan Pengajaran Mesir, hingga akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Qutb bekerja dalam Kementrian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak cocokan terhadap kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang pandidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris. Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A dibidang pendidikan. Beliau tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California.
Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Qutb melihat bahwa sekalipun barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.
Dari pengalaman yang dia peroleh selama belajar di barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Qutb. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari belajar di negeri barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam keanggotaan Ikhwan Al-Muslimin yang dipelopori oleh Hassan Al-Banna. Sehinga akhirnya ia mendapat gelar/ julukan sebagai “The Second Father Ikhwanul-Muslimin”. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah keislaman. Dari organisasi inilah beliau lantas banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hassan Al-Banna dan Abu A’la Al-Maududi. Sayyid Qutb memandang Ikhwan Al-Muslim sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kembali syarat politik Islam dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan syariat Islam yang menyeluruh. Selain itu, dia juga meyakini bahwa gerakan ini adalah gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang Zionisme, Salibisme dan Kolonialisme.
Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb telah menghasilkan lebih dari dua puluh karya dalam berbagai bidang. Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat dengan perjalanan hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an, beliau banyak menulis buku-buku sastra yang hanpa akan unsur-unsur agama. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat asy-Sya’ir fi al-Hayat” pada atahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal ats-Tsaqafah fi Mishr” pada tahun 1939. pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai menerapkan unsur-unsur agama dalam karyanya. Hal itu terlihat pada karya beliau selanjutnya yang berjudul “at-Tashwir al-Fanni fi al-Quran” (1945) dan “Masyahid al-Qiyamah fi al-Quran”.
Pada tahun 1950-an, Sayyid Qutb mulai membicarakan soal keadilan, kemasyarakatan dan fikrah Islam yang suci menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan fi dzilalil Qur’an dan Dirasah Islamiah. Semasa dalam penjara yaitu mulai dari tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus menerus menghasilkan karya-karyanya. Diantara buku-buku yang berhasil ditulis beliau didalam penjara adalah ‘Hadza ad-Din, Al-Mustaqbal li Hadza ad-Din, Khasais at-Tasawwur al-Islami qa Muqawwimatihi Islam wa Musykilah al-Hadarah dan fi dzilalil qur’an (lanjutannya).
Pada tahun 1965,Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abd Nasher. Sebelum dilakukan eksekuksi Gamal Abd Nasher pernah meminta Sayyid Qutb untuk meminta maaf atas tindakannya yang hendak dilakukannya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Qutb.

2. Corak Penafsiran Sayyid Qutb
Metode penafsiran beliau adalah memandang al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang komprehensif, dimana masing-masing bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur’an dalam memahaminya. Beliau berpendapat bahwa salah satu tujuannya menyusun tafsir ini adalah untuk merealisasikan pesan-pesan al-Qur’an dalam kehidupan nyata.
Beliau juga menerangkan korelasi antara surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya, sangat hati-hati terhadap israiliyat dan meninggalkan masalah ikhtilaf dalam ilmu fiqh dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas masalah kalam atau filsafat.
Bisa dikatakan kitab fi dzilalil Qur’an yang dikarang oleh Sayyid Qutb ini termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran al-Qur’an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-ur’an. Termasuk diantaranya adalah melakukan pembaharuan dalam bidang penafsiran yang disatu sisi beliau mengesimpangkan pembahasan yang dirasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau adalah mengetengahkan segi sastera untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sisi sastra beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsirnya bahkan dapat kita lihat pada baris pertama. Akan tetapi, semua pemahaman uslub al-Qur’an, karakteristik ungkapan al-Qur’an serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur’an dan pokok-pokok ajarannya yang dikemukakan Sayyid Qutb untuk memberikan pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang islam pada umumnya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya. Karena pada dasarnya, hidayah meryupakan hakikat dari al-Qur’an itu sendiri. Hidayah ini juga merupakan tabioaat serta esensi al-Qur’an. Maenurutnya, al-Qur’an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan. Dan Allah telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat segala penyakit. Pandangan seperti beliau ini disarikan dari firman Allah yang berbunyi “dan kami turunkan dari al-qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah: “sesunguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus....”
Sejak pada barisan pertama dalam kitab tafsirnya, Sayyid Qutb sudah menampakkan karakteristik seni yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-Qur’an dalam mengajak masyarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balagha disebut dengan ithnab, namun dibalik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasiaan irama.
Mengenai klarifikasi metodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay al-Farmawy (seorang guru besar tafsir ilmu-ilmu al-Qur’an Universitas Al-Azhar) mengatakan bahwa “dilihat dari corak penafsiran yang terdapat dalam tafsir fi dzilalil Qur’an dapat digolongkan kedalam jenis tafsir Tahlili. Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.
Menurut Issa Boullata, seperti ynag dikutip oleh Anthony H. Jhons, pendekatan yang dipakai oloeh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur’an adalah pendekatan tashwir (penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan Al-qur’an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan kongkret sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Qutb, Qashash yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan penuturan drama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia, ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidaka akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam al-Qur’an akan selalu relevan untuk dibawah dalam zaman sekarang.
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir fi dzilalil qur’an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-ijtima’i (sastra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang satrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawah al-Quran yang memang kaya akan gaya bahasa yang sangat tinggi.

3. Motivasi penulisan tafsir Fi Dzilalil Qur’an
Kondisi mesir saat itu sedang porak-poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. pada saat itulah Sayyid Qutb memulai menembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsirnya cenderung mengangkat tema sosial-kemasyarakatan. Dan atas kondisi inilah yang mendorong Sayyid Qutb untuk menyusun kitab tafsir yang diberi nama fi dzilzlil Qur’an (dibawah naungan al-Qur’an).
Dalam tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep nagara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwanul Muslimin lainnya seperti halnya Abu A’la Al-Maududi. Secra singkatnya, sebenarnya Sayyid Qutb memulai menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus . Dia meminta Sayyid Qutb untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran al-Qur’an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid Qutb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi rubrik tersebut yang kemudian diberi nama Fi Dzilalil Qur’an. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fatihah lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Qutb berinisiatif menghentikan kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri ynag diberi nama Fi Dzilalil Qur’an sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas diterbitkan oleh penerbit al-Babi al-Halabi.
Akan tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak berlangsubg serta merta dalam bentuk 30 juz, setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan.

4. Contoh penafsiran Sayyid Qutb dalam kitab tafsirnya
Ayat 65 surat al-anfal : Banyak sekali ulama yang mengatakan bahwa ayat ini mengalami proses naskh. Maka dari itu mereka berpendapat bahwa dahulu perbandingan pada saat bertempur dengan kaum kafir adalah satu banding sepuluh. Artinya, satu kaum muslimin diwajibkan menumpas sepuluh orang kafir. Lalu datanglah ayat berikutnya yang berisi tentang keringanan yang dibnerikan oleh Allah kepada orang islam berupa satu orang iuslam melawan dua orang kafir. Inilah model penafsiran ulama-ulama klasik. Sayyid Qutb, dari ayat ini mencoba menghadirkannya dalam zaman sekarang.
Beliau berpendapat, ayat ini berbicara mengenai taksiran kekuatan pasukan muslim menghadapi pasukan kafir dalam pandangan Tuhan. Namun inti dari semua itu adalah untuk menenteramkan jiwa kaum muslimin agar dapat tidak cepat gentar dan patah semangat dalam menghadapi pasukan musuh yang berjumlah besar. Menurut Sayyid Qutb, dari ayat ini dapat di ambil pelajaran tentang mentalitas umat islam.
Kemenangan bukanlah terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada mentalitasnya. Meski berjumlah seadikit, umat islam dapat memperoleh kemenangan, aslakan mempunyai militan yang mempunyai semangat juang yang gigih.


C. KESIMPULAN
Dapat kesimpulan bahwa dari pemaparan diatas, bahwa metode tafsir yang digunakan Sayyid Qutb dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah memandang al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang komprehensif, dimana masing-masing bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur’an dalam memahaminya. Beliau berpendapat bahwa salah satu tujuannya menyusun tafsir ini adalah untuk merealisasikan pesan-pesan al-Qur’an dalam kehidupan nyata.
Dan adapun menurut Dr. Abdul Hay al-Farmawy (seorang guru besar tafsir ilmu-ilmu al-Qur’an Universitas Al-Azhar) mengatakan bahwa “dilihat dari corak penafsiran yang terdapat dalam tafsir fi dzilalil Qur’an dapat digolongkan kedalam jenis tafsir Tahlili. Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandun gan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan ytang terdapat dalam mushaf.
Dan adapun Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir fi dzilalil qur’an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-ijtima’i (sastra, budaya, dan kemasyarakatan).
Tafsir Sayyid Qutb ini tidak memakai israiliyat dalam penafsirannya, dan mengangkat realita umat pada zamannya (masyarakat Mesir).
DAFTAR PUSTAKA.
http:/badaigurun.blogspot.com/2009/05/corak-penafsiran-sayyid-qutb-dalam.html
http://one.indoskripsi.com/node/6242.
Qutb, Sayyid. Tafsir fi dzilalil qur’an / dibawah naungan al-qur’an jilid 1,. 2000. jakarta: Gema Insani Press
Fahullah, Mahdi.1991. Titik Temu Agama dan Politik-Analisis Pemikiran Sayyid Qutb/dalam Sayyid Qutb, al-athfyul arbaah. jakarta:Ramadhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar